Langkah ku berhenti di suatu tempat. Menatap apa yang ada di
hadapanku saat ini dengan hampa. Aku ingat percakapan kita beberapa
waktu lalu, saat kau mengantarku pulang setelah seharian menghabiskan
waktu bersama di taman ria.
“Besok kau berangkat jam berapa?”
“Sekitar jam dua siang,”
“Kita masih bisa ketemu kan?” tanyaku berharap.
Kau tersenyum. Aku menunduk, pura-pura sibuk dengan gelang yang melingkar di pergelangan tanganku. Ada sesuatu yang menyelinap di hatiku, sebuah rasa kehilangan yang datang sebelum waktunya. Atau mungkin juga sedikit kecewa, karena waktu hanya sekejap mata mempertemukan kita.
“Insya Allah,” katamu memberikan secercah harapan padaku. “Kalau pun besok kita tak sempat bertemu, akan ada lain kali.”
“Yakin akan ada lain kali?”
Kau mengangguk yakin. Tapi aku sangsi.
“Ini bukan pertemuan kita yang terakhir kali kan?”
“Tentu,” katamu mantap. “Ingat, kau masih punya hutang padaku.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Kau punya janji yg belum kau tepati. Itu namanya hutang juga kan?” kau tersenyum menggodaku. “Kita masih akan pergi ke pantai bersama, kau sudah janji mengajakku menyusuri tepi pantai dengan sepeda seperti yang biasa kau lakukan dengan sahabat-sahabatmu.”
“Aku akan menepatinya jika kau datang lagi,” janjiku.
“Ada satu lagi...”
Aku mengernyitkan dahi.
“Pertemukan aku dengan Aquila mu,”
Aku tersenyum, mengangguk sungguh-sungguh, berjanji sepenuh hati untuk memenuhi permintaanmu.
Aku akan merindukanmu, kataku dalam hati.
“Hei, jangan bersedih.”
“Aku...”
“Yakinlah, aku akan kembali ke sini menemuimu lagi.”
“Tapi...”
“Kau hanya harus yakin, Ra.”
“...”
“Karena jika kau yakin, maka segala sesuatunya akan mungkin.”
Aku memberanikan diri menatap matamu.
“Bukankah kau sendiri yang pernah bilang begitu padaku?”
Aku menggangguk.
Sekali lagi kau tersenyum, lalu membelai kepalaku.
“Jangan biarkan ketakutan-ketakutan itu menghantuimu, Ra. Karena itu yang akan mengikis keyakinanmu secara perlahan.”
Dan kau pun pergi, meninggalkanku yang berdiri mematung hingga sosokmu hilang dari pandanganku.
Setitik bening jatuh.
Bukankah kau bilang akan menemuiku lagi? Bukankah kau seharusnya datang menagih janji? Bukankah seharusnya waktu itu bukan pertemuan kita yang terakhir kali? Bukankah... Aku tak lagi bisa menahan isak, suara tangisku seketika memecah keheningan suasana di tempat ini. Apakah keyakinan itu tak berlaku untuk mengubah takdir Tuhan? Atau mungkinkah dari awal aku sebenarnya tak memiliki keyakinan itu?
Bukankah seharusnya...
“Jika kau yakin maka segala sesuatunya akan menjadi mungkin?” Tiba-tiba kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku.
Aku menghapus airmataku perlahan dan memaksakan senyum di bibirku.
“Aku tau mungkin aku tak bisa bisa lagi memenuhi janjiku padamu. Tapi aku percaya suatu saat nanti bila Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi. Mungkin tidak di dunia, tapi siapa tau kita akan bertemu di syurga. Semoga...”
Aku memejamkan mata, berdoa sesaat. Lalu meletakkan bunga di atas pusaran mu, sebelum akhirnya meninggalkan tempat peristirahatan terakhirmu.
rheadrina
Kamar, 29Juni13
“Besok kau berangkat jam berapa?”
“Sekitar jam dua siang,”
“Kita masih bisa ketemu kan?” tanyaku berharap.
Kau tersenyum. Aku menunduk, pura-pura sibuk dengan gelang yang melingkar di pergelangan tanganku. Ada sesuatu yang menyelinap di hatiku, sebuah rasa kehilangan yang datang sebelum waktunya. Atau mungkin juga sedikit kecewa, karena waktu hanya sekejap mata mempertemukan kita.
“Insya Allah,” katamu memberikan secercah harapan padaku. “Kalau pun besok kita tak sempat bertemu, akan ada lain kali.”
“Yakin akan ada lain kali?”
Kau mengangguk yakin. Tapi aku sangsi.
“Ini bukan pertemuan kita yang terakhir kali kan?”
“Tentu,” katamu mantap. “Ingat, kau masih punya hutang padaku.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Kau punya janji yg belum kau tepati. Itu namanya hutang juga kan?” kau tersenyum menggodaku. “Kita masih akan pergi ke pantai bersama, kau sudah janji mengajakku menyusuri tepi pantai dengan sepeda seperti yang biasa kau lakukan dengan sahabat-sahabatmu.”
“Aku akan menepatinya jika kau datang lagi,” janjiku.
“Ada satu lagi...”
Aku mengernyitkan dahi.
“Pertemukan aku dengan Aquila mu,”
Aku tersenyum, mengangguk sungguh-sungguh, berjanji sepenuh hati untuk memenuhi permintaanmu.
Aku akan merindukanmu, kataku dalam hati.
“Hei, jangan bersedih.”
“Aku...”
“Yakinlah, aku akan kembali ke sini menemuimu lagi.”
“Tapi...”
“Kau hanya harus yakin, Ra.”
“...”
“Karena jika kau yakin, maka segala sesuatunya akan mungkin.”
Aku memberanikan diri menatap matamu.
“Bukankah kau sendiri yang pernah bilang begitu padaku?”
Aku menggangguk.
Sekali lagi kau tersenyum, lalu membelai kepalaku.
“Jangan biarkan ketakutan-ketakutan itu menghantuimu, Ra. Karena itu yang akan mengikis keyakinanmu secara perlahan.”
Dan kau pun pergi, meninggalkanku yang berdiri mematung hingga sosokmu hilang dari pandanganku.
Setitik bening jatuh.
Bukankah kau bilang akan menemuiku lagi? Bukankah kau seharusnya datang menagih janji? Bukankah seharusnya waktu itu bukan pertemuan kita yang terakhir kali? Bukankah... Aku tak lagi bisa menahan isak, suara tangisku seketika memecah keheningan suasana di tempat ini. Apakah keyakinan itu tak berlaku untuk mengubah takdir Tuhan? Atau mungkinkah dari awal aku sebenarnya tak memiliki keyakinan itu?
Bukankah seharusnya...
“Jika kau yakin maka segala sesuatunya akan menjadi mungkin?” Tiba-tiba kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku.
Aku menghapus airmataku perlahan dan memaksakan senyum di bibirku.
“Aku tau mungkin aku tak bisa bisa lagi memenuhi janjiku padamu. Tapi aku percaya suatu saat nanti bila Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi. Mungkin tidak di dunia, tapi siapa tau kita akan bertemu di syurga. Semoga...”
Aku memejamkan mata, berdoa sesaat. Lalu meletakkan bunga di atas pusaran mu, sebelum akhirnya meninggalkan tempat peristirahatan terakhirmu.
rheadrina
Kamar, 29Juni13