Aku tergesa menuruni tangga dan tiba-tiba kakiku
terpeleset. Untungnya tanganku bisa meraih pegangan sehingga tubuhku tak sampai
menggelinding hingga ke anak tangga yang paling bawah. Hanya saja tak bisa aku
pungkiri kalau seluruh persendianku terasa sakit luar biasa.
"Bang, Na tadi jatuh..."
Aku menghentikan jemariku yang bermain di atas keypad hp.
Ingatan itu melintas di benakku.
***
"Lagi dimana, Na?"
Aku menjawab ragu, "Di rumah sakit."
"Rumah sakit?" Nada suaramu terdengar khawatir.
"Kamu sakit? Kenapa nggak bilang?"
"Jatuh dari motor."
"Kok bisa?"
"Jalannya licin, Bang."
"Makanya lain kali kalo bawa motor itu nggak usah
sok-sok jadi pembalap."
"Tapi Na nggak ngebut kok." Aku bersungut demi
mendengar omelanmu.
"Kalo nggak ngebut nggak mungkin sampe jatuh
gitu."
"Udah dibilang kalo jalannya licin juga."
"Iya, tapi kalo kamu hati-hati dan nggak ngebut pasti nggak
bakal jatuh. Dasar ceroboh."
"Terserah Abang deh."
Aku mennggakhiri pembicaraan. Kesal.
***
"Upz!"
"Kenapa?"
"Bang, nanti telponnya dilanjutin ya."
"Loh, memangnya kenapa? Kelasnya udah mo mulai?"
"Belum, Na mo pulang ke kost sebentar." Kataku
sambil berjalan menuju parkiran.
"Bukannya tadi kamu bilang baru nyampe kampus ya
Na." Nada bicaramu sedikit heran.
"Iya, tapi..."
"Ada yang ketinggalan?"
"Nggak sih, tapi..." Aku sedikit ragu.
Kamu diam menanti jawabanku.
"Na lupa matiin setrikaan, Bang."
"Aduh... kamu ceroboh banget sih Na."
"Ngomelnya nanti aja bisa?" Sindirku.
Disindir begitu kamu malah bersiap-siap akan memperpanjang
omelanmu.
Aku bersungut.
"Jangan diulangi lagi." Katamu akhirnya sebelum
menutup telpon.
***
"Kamu jadi berangkat hari ini?"
"Iya."
"Pesawat jam berapa?"
"Jam 5 sore."
"Jam berapa mau ke bandara?"
"Sebentar lagi, Bang." Kataku sambil mencari-cari
sesuatu.
"Nunggu apa lagi, ntar telat loh."
"Iya, sebentar lagi." Aku bersungut seperti
biasa."
"Kamu lagi ngapain sih?"
Aku memindahkan ponselku ke tangan kanan. Menghela napas
sesaat dan bersiap menerima omelannya.
"Nyari tiket pesawat."
"Apa?"
Aku menghela nafas sekali lagi.
"Jangan ngomel dulu ya bang, Na lagi pusing nih. Kalo
tiketnya nggak ketemu juga, bisa-bisa Na batal berangkat."
"Dasar ceroboh." Seperti biasa kalimat itu yang
keluar dari mulutmu.
***
"Aaawww!"
"Kenapa lagi?"
"Jari Na luka bang waktu ngiris bawang." Aku
mengadu.
"Berdarah?"
"Ya iyalah." Aku jadi sewot mendengar
pertanyaanmu yang nggak penting itu.
Kamu tertawa kecil.
"Udah dikasih obat?"
"Ini lagi dikasih obat. Periiiih hikz...."
"Kamu tuh emang ceroboh. Masa ngiris bawang aja sampe
luka gitu. Makanya lain kali jangan sambil ngelamun."
Aku merengut kesal. Selalu dan selalu begitu. Bukannya
kasihan malah ngomel dan menyalahkan.
***
"Bang... Na jatuh di tangga."
Aku membaca lagi SMS yang baru ku ketik. kembali ragu untuk
mengirimkannya.
Dulu, aku begitu kesal dengan omelanmu. Selalu protes
ketika kamu mengatakan aku ceroboh, walau pada kenyataannya memang begitu. Tapi
aku tau, sebenarnya itu salah satu bentuk perhatian kamu padaku. Jadi apa pun
yang terjadi aku selalu memberi tahu mu, termasuk hal yang menyangkut
kecerobohanku itu.
Tapi itu dulu, sebelum masalah datang dan mengubah keadaan.
Aku bahkan lupa sejak kapan perhatian itu berubah menjadi ketidakpedulian. Dan
aku yang dulu terbiasa mengadukan segala sesuatu padamu sekarang lebih memilih
menyimpan semuanya sendiri.
Aku mendelete SMS yang sebelumnya sudah ku ketik,
mengurungkan niat untuk mengirimkannya padamu. Tidak ada gunanya.
Kamu benar, aku memang gadis yang ceroboh. Aku selalu
ceroboh melakukan segala hal. Aku juga ceroboh karena mempercayakan kebahagian
dan menitipkan impianku padamu. Bahkan aku terlalu ceroboh telah meletakkan
hatiku padamu.
rheadrina
KamarKost, 24062013
KamarKost, 24062013
4 komentar:
Ceritanya sederhana tapi maknanya dalem. Teruslah menulis!
makasih rangga... :)
sering2lah berkunjung.
asiik, so deep. Love it! Pengen nulis lagi jdinya.
wow, senang sekali rasanya tulisanku yg sederhana ini diapresiasi. thanks edwin. juga atas kunjungannya.
Mari menulis... :)
Posting Komentar