Dear Ayah...
Hari itu tanpa sengaja ku temukan setumpuk surat yang ayah tulis lebih dari 20 tahun lalu. Setumpuk surat yang mewakili kerinduan ayah saat bertugas selama hampir satu tahun lamanya dan terpisah berjarak ribuan kilometer dari kami. Setumpuk surat yang ayah tulis dari sebuah kamar sempit di barak yang berdinding papan dan setiap sudutnya ayah tempelin foto aku kecil, Mbak Lita dan juga Ibu. Surat yang ayah tulis dari sebuah pulau paling timur negeri tercinta ini. Surat yang ayah kirim dengan perangko balasan yang ibu sertakan dalam surat-suratnya. Surat yang isinya sangat singkat, bahkan untuk membacanya hanya butuh waktu beberapa menit, tak sebanding dengan lamanya waktu pengiriman. Tapi setumpuk surat itulah ayah yang membantu ku untuk memahami betapa besar kecintaanmu pada kami. Dan aku menahan sesak di dadaku saat membaca surat itu, aku tak mampu menahan air mataku setiap kali menelusuri kalimat-kalimat sederhana yang ayah tulis dalam surat itu. Aku terharu...
Aku masih kecil kala itu ayah, baru berumur 13 bulan. Aku bahkan belum mengerti apa-apa. Aku tidak tau bahwa hari itu ayah pergi ke medan perang bukan jalan-jalan. Aku tidak tau kemana tujuan ayah dan berapa lama perjalananmu mengarungi lautan. Aku tidak tau ayah apakah yang akan terjadi padamu kemudian, mungkinkah kau akan pulang??? Sungguh aku tidak tau. Aku hanya tau setelah itu untuk beberapa waktu aku tak melihat sosokmu hadir mewarnai hari-hariku. Tapi ayah ketika ku temukan surat-surat itu, aku telah beranjak dewasa dan aku mengerti segalanya.
Pernahkah aku bercerita padamu ayah, bahwa dulu teman-teman menjuluki aku dengan sebutan Along? Along yang merupakan singkatan dari Anak Kolong. Sebuah julukan yang aku dapatkan karena aku adalah anak seorang tentara. Aku menyukai julukan itu ayah, aku tidak marah mereka memanggilku begitu, karena bagiku menjadi seorang Anak Kolong adalah sebuah kebanggaan.
Ayah, mungkin bagi orang ayah hanyalah seorang prajurit biasa. Ayah bukan seorang Komandan, bukan Letnan apalagi Jendral. Ayah hanya seorang prajurit dengan pangkat merah di lengan. Tapi bagiku ayah adalah seorang pahlawan. Pahlawan bagiku, pahlawan bagi keluarga kita dan tentu saja pahlawan bagi negara ini. Sungguh, di mataku ayah sangat luar biasa. Seorang pahlawan sejati yang berjuang setulus hati dan tanpa pamrih, yang setia membela negara ini dengan penuh cinta kasih, yang berjuang segenap jiwa dan raga dengan semangat membara. Dan aku bangga memiliki ayah sepertimu.
Malam ini, aku memandangi fotomu ayah. Ayah terlihat gagah dengan seragam loreng dan senapan laras panjang yang erat tergengam di tangan. Aku jadi ingat salah satu impianku. Aku ingin punya seorang suami seorang tentara seperti ayah. Agar nantinya di keluarga kita akan ada yang meneruskan pengabdian mulia ayah pada negara ini. Sayangnya ternyata ibu malah tidak menginginkannya, ibu berharap tak seorang pun diantara kami memiliki suami seorang tentara. Bukan karena ibu membenci pekerjaan ayah, tapi karena ibu tak ingin anak-anaknya merasakan apa yang dulu dirasakannya saat ditinggal ayah pergi ke medan perang.
Aku melupakan keinginan itu ayah, lagi pula hingga saat ini tak ku temukan sosok seperti itu yang bisa ku jadikan calon suami. Maafkan aku ayah, semoga ayah tak kecewa.
Ayah, aku tak mengerti kenapa kita sering kali bertentangan. Mungkinkah karena kita sama-sama keras kepala? Tak terhitung lagi berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk berdebat. Sering aku merasa tertekan dengan segala aturan dan larangan yang ayah tetapkan, tapi aku bisa apa selain menahan perasaanku dalam diam. Aku ingin ayah mengerti inginku, tapi akulah yang kemudian memenuhi keinginan ayah. Terkadang aku menjadi sosok yang tak ingin mengalah, terutama pada dirimu ayah. Nyatanya aku memang selalu kalah bila berhadapan denganmu. Ayah tau kenapa? Karena aku sadar ayah adalah segalanya bagiku. Kebahagianku adalah melihat senyum kebanggaan dan binar bahagia di kedua mata ayah. Walau itu berarti aku mungkin harus mengubur (atau sekedar menunda) keinginan dan impianku sendiri.
Jujur ku akui kemarahan kadang terselip di sela-sela rasa sayang dan cintaku padamu ayah. Tapi aku tak pernah bersungguh-sungguh dengan kemarahan itu. Aku bahkan tak pernah bisa membencimu. Mungkin aku bukanlah orang yang pandai menunjukkan rasa, tapi sungguh aku menyayangimu sepenuh hatiku. Walau selama ini tak pernah ku ungkapkan dengan kata-kata dan tak pernah mampu ku lukiskan secara nyata. Seingatku memang tak pernah, bukan berarti aku tak ingin. Tapi bibirku selalu kaku ketika ingin mengatakannya, seperti ada sesuatu yang tersedak di tenggorokan ini dan menahan suaraku. Percayalah ayah, aku mencintaimu seperti ayah mencintaiku. Aku berjanji, suatu hari nanti akan ku katakan hal itu, agar ayah tau bahwa aku begitu mencintai ayah dengan segala hal yang ada pada diri ayah.
Ayah, tak terasa berpuluh tahun sudah ayah mengabdi pada negara ini, mulai dari seorang prajurit biasa hingga berakhir pada Pelda (Pembantu Letnan Dua). Dan selama itu tak pernah ku dengar ayah berkeluh kesah. Ayah telah buktikan kesetiaan dan besarnya kecintaan ayah pada negara kita. Aku sungguh bangga pada ayah. Dan walaupun saat ini ayah tak lagi bertugas, aku tetap menganggap ayah sebagai seorang pahlawan.
Luv U so much dad, semoga aku bisa membahagiakan ayah hingga nanti ajal menjemput salah satu diantara kita.
Ayah, Ahhabbakalladzii ahbabtanii lahu (semoga Allah mencintaimu seperti engkau mencintaiku karenaNya) Amin ya Robbal’alamin.
~Anakmu, yang selalu mencintaimu~
0 komentar:
Posting Komentar