Mungkin ia tak bisa membantu menyelesaikan masalahmu, mungkin ia tak bisa mengurangi kesedihanmu, mungkin ia tak bisa menyembuhkan lukamu, dan mungkin ia memang tak bisa menjanjikan apa-apa untuk membuatmu merasa lebih baik.
Karena mungkin, yang dapat dilakukannya hanyalah duduk disampingmu, mendengarkanmu, menggenggam jemarimu, menghapus airmatamu dan berdoa untukmu. Berharap itu bisa (sedikit) menguatkanmu.
Maka jangan pernah ragu untuk mencoba berbagi dengannya. Mungkin itu malah membuatnya merasa berarti karena kau 'membutuhkan' kehadirannya. Mungkin saja kan?
Saat ini mungkin kita saling mencintai, melewati waktu senantiasa bersama, merancang masa depan yang indah untuk berumah tangga dan hidup bahagia selamanya. Tapi ingatlah, jika takdir tak menghendaki, maka segala impian kita hanya akan jadi mimpi saja, sampai kapanpun tak akan pernah jadi nyata.
Saat ini boleh saja kita saling melupa, dengan atau tidak sengaja menganggap apa yg terjadi adalah hal yang biasa, mengabaikan rindu seperti rasa itu tak pernah ada. Tapi ketahuilah bila takdir menghendaki, akan ada waktu dimana kita akan mengingat segalanya tanpa harus bersusah payah untuk menghadirkan kenangan yang tersisa.
Atau
Kita -aku dan kamu- lebih memilih untuk saling membelakangi, Lalu melangkah ke arah yg berlawanan dan sama sekali enggan menengok ke belakang. Tapi suatu hari nanti bila takdir memang menghendaki, kita akan bertemu kembali di suatu tempat yang tidak kita tau, tanpa harus mengubah arah yang kita tuju. Jadi, teruslah melangkah dan yakin saja.
Seperti pagi kemarin, juga pagi-pagi sebelumnya, hal pertama yang aku lakukan ketika tiba di kantor adalah menyalakan komputer lalu memutar video ini berkali-kali (hingga aku tak tau lagi yang ke berapa kali). Lagu ini dengan setia menemaniku melawan rasa malas dan menghadapi berbagai tugas. Sesekali di waktu luang aku akan ikut bersenandung mengikuti irama, tapi lebih sering berlama-lama menatap layar monitor yang menampilkan gambar dikala video itu diputar untuk meresapi maknanya. Begitu selalu tanpa pernah merasa jemu. Sama seperti halnya aku yang tak pernah bosan menantimu. Mesti lelah kerap menerpa, meski ragu kadang menyapa, meski kecewa kadang menghampiri, meski kadang rindu terasa tak berarti. Dan meskipun semakin hari dirimu semakin terasa jauh. Tapi aku tak akan menyerah sampai waktu mengalah dan akhirnya mempertemukan kita. Kecuali, jika kau yang memintaku (berhenti menunggu).
Aku menghentikan langkahku, menoleh dan mendapati seraut wajah itu
tersenyum padaku. Seseorang yang sebenarnya ku kenal cukup dekat. Teman masa
kecilku.
“Hai,” kataku terdengar kaku.
“Gak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Apa kabar, Din? Udah lama ya
kita gak ketemu.”
“Baik. Kamu?”
“Seperti yang kamu lihat.” Dia menatapku sejenak, “Kamu kurusan
sekarang.”
“Oya? Berat badanku naik.”
“Aku tak percaya.”
“Itu kenyataannya.”
“Oke...” Seperti biasa dia mengalah, dia tak pernah betah berdebat
denganku.
Hening sejenak.
“Sendiri?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Hmmm, kamu...”
“Aku ada urusan kantor.” Jawabku seolah sudah tau apa yang ingin
ditanyakannya.
“Oh...” gumamnya pelan. “Kebetulan aku kerja di sini, ada yang bisa
aku bantu?”
Aku menggeleng cepat. Aku malas berurusan dengan makhluk satu ini.
“Tidak, terima kasih.”
“Baiklah, kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan menemuiku. Kamu
bisa cari aku di sana,” katanya sambil menunjuk sebuah ruangan.
Aku mengangguk. Lalu buru-buru meninggalkannya. *
Namanya Iyas, teman sepermainanku sewaktu kecil. Kami tinggal satu
kompleks, rumah kami hanya berjarak sekitar 300 meter. Setiap hari aku
menghabiskan waktu bersamanya, bermain layang-layang, bersepeda, memancing,
mandi di sungai, atau mendaki bukit kecil yang ada di belakang rumahnya. Kemana
pun dia pergi Iyas selalu mengajakku ikut serta. Iyas selalu menjagaku, tak
pernah sekali pun dia membiarkan orang lain menggangguku apalagi sampai
membuatku menangis. Mungkin hal itu yang membuatku merasa nyaman berada di
dekatnya, walau tak jarang kami bertengkar dan saling mendiamkan satu sama
lain.
Seiring berjalannya waktu kami pun beranjak remaja. Walau berbeda
sekolah dan sibuk dengan kegiatan eskul masing-masing, dia masih sering ke
rumahku. Dia tak perduli aku ada di rumah atau tidak. Dia dekat dengan ortu dan
saudara-saudaraku, baginya rumahku sudah seperti rumahnya sendiri. Kalau pulang
terlalu malam, dia lebih berani mengetuk rumahku daripada harus pulang ke
rumahnya sendiri. Aneh kan? Tapi itulah Iyas, sahabat kecilku.
Suatu hari ketika kami duduk di bangku SMA, sepulang sekolah dia ke
rumahku dan menemukanku sedang asyik bermain basket. Awalnya dia hanya
memperhatikanku, tapi setelah itu dia dengan sukses merecoki permainanku. Aku
mendelik marah tapi dia tak perduli dan hanya tertawa-tawa, senang melihat aku
yang sedang marah.
“Apaan sih, sini balikin bolanya.” Kataku ketus.
“Ambil aja sendiri kalo bisa.”
“Resek!”
“Biarin.”
“Balikin sini bolanya,” pintaku sambil terus berusaha merebut
kembali bola basket dari tangannya.
“Aku suka kamu, Din.”
Aku kaget mendengarnya.
“Kamu...”
“Gak, aku gak mau!” potongku cepat.
Aku melepaskan bola basket yang baru saja ku rebut dari tangannya.
“Kenapa?” Dia tak kalah kaget mendengar jawabanku.
“Gak mau aja.” Jawabku sekenanya.
Aku lalu masuk ke dalam rumah, membiarkan dia yang bengong. Aku
mengintip dari balik jendela kamarku dan melihat Iyas berjalan pulang dengan
gontai. Aku merasa tak enak hati walau tetap tak ingin meralat perkataanku. Sebenarnya
hatiku berdebar cukup keras waktu dia mengatakan hal itu. Bukan, bukan karena
aku juga menyukainya tapi lebih karena aku tak siap mendengarkan pernyataan
cintanya yang begitu tiba-tiba. Aku bahkan kaget karena dengan entengnya menolak
Iyas tanpa memikirkan perasaannya.
“Maaf...” kataku lirih, walau aku tau Iyas tak mendengarkan
permintaan maafku.
Sejak saat itu hubungan kami merenggang. Iyas masih suka ke
rumahku, walau tak sesering biasanya. Dia tak perduli aku bersikap cuek padanya.
Dia masih Iyas yang sama dengan Iyas sebelumnya, hanya saja aku yang selalu
berusaha menghindarinya.
“Dinda?” Suara itu lagi.
Lamunanku buyar seketika. Lagi-lagi aku menoleh dan mendapati
seraut wajah yang sama untuk kedua kalinya dalam hari ini.
“Laper?” tanyanya lagi. “Makan siang bareng yuk, aku yang traktir.”
Tanpa menunggu persetujuannku dia sudah menarik tanganku. Aku
terpaksa mengikutinya. Baiklah, hanya untuk kali ini saja. Janjiku dalam
hati.
Sesaat kemudian kami sudah duduk berhadapan di sebuah cafe, tak
jauh dari kantornya. Aku hanya diam dan menunduk, sibuk mengotak-atik ponselku.
“Aku kangen kamu.”
Lagi-lagi aku kaget dibuatnya.
Dia tersenyum geli melihat reaksiku.
“Aku kangen kamu, Dinda. Sungguh...” katanya lagi. “Aku senang,
kamu masih seperti Dindaku yang dulu.”
Stop! Aku benci sekali kalo Iyas udah mulai gombal. Ternyata, Iyas
yang ada dihadapanku saat ini juga masih Iyas yang dulu. Aku gak ingat kapan
terakhir kali kami ketemu, kapan dia terakhir kali menelponku, kapan dia
terakhir kali datang ke rumahku. Tapi rasanya sudah lama sekali. Dan anehnya
Iyas tak berubah sama sekali.
“Aku masih menunggu,” begitu katanya kemudian.
Aku masih diam. Ini salah satu alasan kenapa dulu aku
menghindarinya, Iyas pantang menyerah.
“Beri tahu aku siapa lelaki yang sedang dekat denganmu saat ini.”
Aku masih diam. “Dinda, bicaralah...”
“Bukankah kita ke sini untuk makan?” tanyaku, tak mengubris
pertanyaannya sama sekali.
“Baiklah.” Iyas lagi-lagi mengalah.
Iyas memanggil pelayan, kami pun memesan makanan. Lalu menunggu
pesanan kami dengan membisu. Sungguh, aku benci situasi ini.
Iyas... Iyas... dan selalu Iyas. Kenapa hidupku tak pernah tenang
dari sosok bernama Iyas. Setelah peristiwa pengungkapan cinta waktu itu ntah
sudah berapa kali Iyas mencoba ‘menembakku’ dan berkali-kali aku tolak. Aku pikir
akhirnya Iyas menyerah. Dia mulai jarang ke rumahku, hingga akhirnya tak pernah
lagi ku lihat batang hidungnya. Tidak ke rumahku atau sekedar lewat di depan
rumahku. Aku tak pernah bertanya-tanya atau merasa kehilangan dia. Aku memang
nyaman berada di dekatnya sebagai sahabat, seseorang yang begitu melindungiku.
Tapi kenyamananku terusik setelah dia menganggapku lebih dari seorang sahabat.
Aku tak bisa, benar-benar tak bisa bersikap seolah-olah tak mengetahui apa-apa
mengenai perasaannya. Aku tak bisa, tak bisa untuk pura-pura menyukainya dan
memang tak ingin.
Dan hari ini, kenapa aku harus bertemu dengannya? Kenapa dia harus
bilang kalau dia masih menungguku? Kenapa dia kembali mengusik hidupku? Tak
bosankah ia menerima penolakan dariku? Agrrrrrrhhh...! Rasanya aku ingin sekali
teriak.
“Din...”
“Ya?” Spontan aku menyahut, lagi-lagi dia memergokiku sedang
melamun.
“Makan gih, ntar maag kamu kambuh lagi kalo telat makan.”
Hei, kok dia tau kalau aku punya penyakit maag? Seingatku aku gak
pernah bilang sama dia kalau aku punya penyakit maag. Lagi pula aku baru
sekitar setahun ini mengidap penyakit itu, jelas-jelas dalam kurun waktu itu
kami sama sekali tak pernah bertemu.
“Gak usah heran, aku tau semua tentang kamu. Jangan kamu pikir aku
tak tahu apa-apa. Aku selalu memperhatikanmu, Din.”
Well, jadi sejak kapan dia memata-mataiku? Kurang kerjaan!
“Kenapa sih kamu tak pernah suka sama aku?” tanyanya lagi.
Aku masih diam. Mulai melahap makananku perlahan, bersikap
seolah-olah tak mendengar apa yang dikatakannya.
“Aku capek menghadapi sikapmu yang sok cuek dan selalu menghindari
aku. Makanya aku pergi. Aku pikir kamu akan merasa kehilangan tapi ternyata
kamu bersorak riang.” Dia menggerutu. “Aku masih menunggumu, Dinda.”
“Oya?” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Ya.” Katanya tegas. “Apa kamu masih gak percaya?’
Aku berhenti mengunyah, menganggkat wajahku dan menatap matanya.
“Aku mencintaimu dari dulu hingga saat ini, mungkin juga besok,
lusa dan selamanya. Percayalah...” Nada bicaranya mulai putus asa.
“So...?” tanyaku datar.
“Dinda!” Iyas kesal. Aku tak perduli. “Apa yang harus kulakukan,
Din?”
Apa? Pergilah dan jangan kembali.
“Baiklah, tolong kamu kasih satu saja alasan kenapa kamu tak
menyukaiku.” Akhirnya dia menyerah.
Aku berpikir sambil mengunyah perlahan. Bingung harus menjawab apa.
Gak mungkin kan aku bilang kalo aku suka...
“Rafly?” Aku tersentak mendengar nama itu. Kenapa Iyas seperti bisa
membaca pikiranku. “Kamu menyukainya kan?”
“Jangan bawa-bawa nama Rafly,” tiba-tiba aku jadi sewot.
“Ternyata benar dugaanku.”
“Jangan sok tau!”
“Kamu gak usah bohong, Din.”
“Aku...”
“Kalo kamu gak menyukai Rafly, kenapa gelang pemberian darinya
masih kamu pakai?” katanya tajam.
Secara reflek aku langsung menutupi gelang yang melingkari
pergelangan tanganku. Gelang yang terbuat dari batu itu satu-satunya benda
pemberian dari Rafly. Dia memberikan gelang itu sebagai ganti gelangku yang
putus akibat perbuatan Iyas.
“Din...”
“...”
“Seharusnya sudah sejak lama aku menyadari kalo kamu mencintai Rafly,
kakakku. Dan...” Iyas menghela nafas sesaat. “Dan harusnya kamu gak perlu menderita
begitu lama karena memendam perasaanmu pada Rafly.”
Aku tak mengerti arah pembicaraan Iyas, tapi aku membiarkannya
saja. Aku tak ingin bertanya.
“Aku minta maaf karena pernah memaksakan perasaanku padamu.” Iyas
terdengar menyesal.
“...”
“Din, sebenarnya Rafly menyukaimu.”
Aku tersentak mendengar penuturan Iyas.
“Maafkan aku.” Katanya lagi. “Seandainya aku tau kamu juga menyukai
Rafly, sudah sejak lama aku merelakanmu untuknya.”
Aku menggigit bibir bawahku. Rafly menyukaiku? Benar-benar
tak bisa ku percaya, selama ini aku berpikir bahwa cintaku bertepuk sebelah
tangan.
“Gak mungkin,”
“Aku gak bohong.” Iyas meyakinkanku. “Rafly menyukaimu dari dulu. Sejak
kita kecil sebelum pergi bermain denganmu dia selalu mengingatkanku untuk
menjagamu, katanya aku gak boleh ngebiarin kamu nangis karena terluka atau dijahilin
orang lain. Kamu gak tau kan kalo Rafly selalu memarahiku ketika kita
bertengkar, dia bilang sebagai anak laki-laki aku harus mengalah padamu. Kura-kura
yang dulu pernah aku kasih ke kamu itu juga sebenarnya dari dia. Entah
bagaimana tapi dia selalu tau apa yang kamu suka.”
Ada setitik air jatuh ke pipiku.
“Aku mencintaimu, Din. Sungguh... Begitu pula dengan Rafly. Tapi
aku gak tau kalo kamu menyukai Rafly. Bukankah dulu yang selalu dekat dengan
kamu itu aku bukan dia, kemana-mana yang menemanimu itu aku bukan dia, orang
yang selalu kamu cari dan hubungi itu aku bukan dia. Selalu aku bukan dia, tapi
kenapa bukan aku yang kamu suka?”
“Aku gak tau, Yas. Aku gak tau...” Isakku mulai terdengar.
Iyas menggenggam tanganku erat lalu menghapus airmataku.
“Maafkan aku. Sekarang izinkan aku menebus kesalahanku.”
Aku menatapnya penuh tanda tanya.
“Ikut aku.” Tanpa sempat protes, Iyas sudah menarik tanganku. “Aku
akan membawamu ke tempat Rafly.”
“Tak perlu.” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami berdua.
“Rafly???”
Kamar tidurku, 18012013
NB: Cerpen ini sudah lama sekali aku tulis dan memenuhi folder "setengah jadi" di laptop kesayanganku. Akhirnya hari ini bisa aku (paksa) selesaikan, walau endingnya gak seperti rencana awal hehe..
Hei kamu, yang semalam menyusup masuk ke ruang mimpiku. Kenapa kamu tak izin dulu? Seingatku tak ada yang mengundangmu untuk datang, lalu kenapa seenaknya saja kamu muncul tiba-tiba hadir di mimpiku tadi malam? Setidaknya kan kamu harus terlebih dahulu memberi kabar.
Aku tau kita memang sudah cukup lama saling kenal, tapi itu bukan berarti kamu bebas keluar masuk ke dalam mimpiku kan? Itu zona nyaman bagi penderita insomnia sepertiku, dan sekarang kamu telah melanggar batasnya.
Iya, aku memang terbiasa denganmu. Aku terbiasa menanti SMSmu, terbiasa melihat namamu muncul di layar ponselku, terbiasa dengan suara gitar yang sering kamu perdengarkan padaku, terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaanmu yang tak selalu (bisa) ku jawab, terbiasa dengan perubahan sikapmu yang tak pernah bisa kutebak. Aku memang terbiasa dengan segala sesuatu yang berhubungan denganmu. Aku akui itu.
Tapi tuan bolehkan aku minta satu hal? Aku tak ingin terbiasa melihatmu dalam mimpiku. Aku ingin kau benar-benar datang menemuiku dalan wujud nyatamu. Jadi cukup sekali ini saja kamu mendatangiku dalam mimpi, tolong ya jangan kamu ulangi lagi.
Tanpa sengaja aku melihat postingan foto ini di akun facebook sepupu salah seorang sahabatku. Sebuah nama yg ditulisnya di atas salju (tidak seperti kebanyakan orang yg menulis nama di atas pasir). Uniq.
Nama itu dia tulis dengan huruf Katakana Jepang. Pastinya nama yg tertulis di sana adalah nama orang yg special baginya, begitu pikirku. Dia menuliskannya dengan huruf Katakana mungkin karena tidak ingin orang lain tau.
Aku yang suka dan selalu tertarik dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Jepang jadi penasaran dan ingin tau. Apalagi setelah itu dia seperti menantangku dengan bertanya apakah aku tau apa yang dia tulis. Well, sepulang ke rumah aku langsung meraih kamus saku bahasa Jepang dan menelusuri huruf-huruf Katakana satu persatu untuk mencari tau. Dan...
Speechless. Aku kaget luar biasa sampe gak tau harus berkata apa. Tulisan dengan huruf Katakana yang dia tulis di atas salju itu ternyata adalah namaku. Iya, namaku: Ari Adrina.
Aku ingin suatu saat kita bertemu
di satu waktu yang tak usah kita tau
Biarlah saja kini terpupuk rindu
kita bersabar untuk saling menunggu
Aku ingin suatu saat kita bersua
di satu waktu yang tak terencana
Biarkan semua terjadi begitu saja
Cukup Tuhan yang mengaturnya
sebagai suatu kejutan yang indah
Dan sungguh bila nanti waktu mempertemukan kita
aku ingin harapku bukanlah kecewa
aku dan kamu; kita
bersama merajut ci(n)ta di jalan-Nya
Begitu telpon aku angkat, seseorang
di seberang sana langsung berteriak. Refleks aku menjauhkan gagang telpon dari
telingaku, lalu berusaha mengingat dan mengenali suara itu. Tapi aku memang
payah dalam hal yang satu ini.
“Yo?” Suara itu membuyarkan
lamunanku.
“Adel?”
Hanya Adel satu-satunya orang yang
memanggilku dengan sebutan Yo.
“Kamu pasti kaget kalo aku bilang
sekarang aku ada di Manado!” lagi-lagi Ia berteriak. Dan kali ini benar-benar
mengagetkanku.
“Apa?!”
“Hmm... jadi kapan kita bisa
ketemu?”
Seseorang diseberang sana yang
ternyata memang Adel, tak begitu menghiraukan kekagetanku.
“Kamu serius?”
“Of course!” katanya begitu
yakin. “Aku bahkan sudah tak sabar pengen liat badut ancol yang pendiam dan
memiliki codet di wajahnya. Haahaha...” Dia tergelak.
Aku ingat beberapa bulan yang lalu
setelah sekian lama tak berhubungan, aku mendapat mention di twitter
dari Adel, sahabat pena yang ku kenal sejak aku duduk di bangku SMA, sekitar 13
tahun yang lalu.
@yoza_ No hape mu masih yg lama kan?
@adL No As masih yang lama kok.
@yoza_ Aku mau ke manado. Kita bisa
ketemu donk.
Begitu tulisnya. Dan itu membuatku
berpikir lama. Antara percaya dan tidak. Tapi dalam kamus seorang Adel tak ada
di dunia ini yang tak mungkin.
@adL Tergantung...
@yoza_ Tergantung apa?
Tuh kan, kayaknya Adel nggak
main-main dengan perkataannya.
@adL Tergantung kamu mau liat cowok
item chubby pemalu yang ada codetnya ngnggak?
@yoza_ Apa pun. Pokoknya aku pengen
ketemu sama sapenku yang aku kenal sejak kelas 3 SMP.
Nekat! Masih belum berubah.
Aku tak lagi membalas mention dari
Adel dan kemudian melupakan semua itu seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Lalu sebulan kemudian aku kembali
mendapat mention sewaktu dia tau aku berencana ngambil cuti dan pulang
kampung, melihat ibuku yang sedang sakit. Dia bilang semoga aku cutinya bukan
pas dia ke Manado, karena itu berarti kami nggak akan ketemu. Ketika aku tanya
kapan dia mau ke Manado, dia tetap aja nggak bilang. Cuma mengatakan, semoga
ibuku lekas sembuh. Melihat gelagatnya sepertinya dia sebenarnya nggak mau
kasih tau kapan dia bakal ke Manado, mungkin mau ngasih surprise. Dan
walau aku udah tau kalo dia mau ke Manado, nyatanya barusan aku tetap kaget
waktu tau dia saat ini sudah berada di kota yang sama denganku. Ahhh...
seharusnya aku sudah mempersiapkan diri, tapi kondisi kesehatan ibuku dan juga
kesibukan di kantor telah menyita terlalu banyak pikiranku sehingga aku
melupakan fakta bahwa dalam waktu dekat dia akan datang dan 'mungkin' kami akan
bertemu.
Aku perlu menggaris bawahi kata
mungkin, karena aku tak benar-benar yakin kami akan bertemu. Atau lebih
tepatnya, aku tak yakin akan menemuinya. Kenapa? Ntahlah... tapi aku memang tak
terbiasa bertemu dan menghadapi orang baru apalagi seorang cewek, walau pun
dalam kasus ini Adel adalah sahabat penaku yang telah bertahun-tahun aku kenal.
Aku tak bisa membayangkan jika sampai pertemuan kami diwarnai dengan kekikukan
atau aku yang tiba-tiba jadi salting dan membatu tak tau harus berkata
atau berbuat apa.
Ah... aku jadi melamun.
Aku lihat layar ponselku tak lagi
menyala, sepertinya sambungan sudah lama terputus ketika aku melamun tadi. Aku
bahkan tak menyadari kalau bukan hanya sambungan telpon yang terputus tapi juga
ponselku yang mati karena lowbatt.
@yoza_ Aku sekarang di Manado. Tadi
sore nyampe. Bisa kita ketemu?
Aku membaca mention dari
Adel. Menarik nafas perlahan dan tak tau harus menjawab apa. Haruskah kami
bertemu sekarang? Jujur, aku belum siap. Dan aku tak punya alasan apa pun yang
aku anggap masuk akal agar aku tak menemuinya.
Hei, ada apa denganku? Kenapa
rasanya seperti putus cinta akibat dikhianati seseorang dan belum siap untuk
kembali bertemu dengan (mantan) kekasih yang telah melukai hatinya. Padahal
yang akan aku temui kan cuma seorang Adel, sahabat penaku yang periang dan
bawelnya minta ampun, terlihat dari cerita-ceritanya di surat. Dan lagi sampai
terakhir berhubungan kami tetap tak pernah punya masalah apa pun, hanya memang
kami sudah sangat jarang berkomunikasi. Itu saja.
Dua hari telah berlalu sejak telpon
yang begitu tiba-tiba, sejak mention
terakhir Adel di twitter yang bahkan tidak aku balas, sejak dia mengabarkan
kalo dia ada di Manado, di kota yang sama denganku. Aku nggak tau dia ke sini
dengan siapa dan nginap dimana. Bahkan aku nggak tau ada keperluan apa dia
datang jauh-jauh, sampai harus menyebrang melampaui dua pulau. Nggak mungkin
kan hanya untuk menemuiku?
Aku pamit. Malam ini aku pulang,
meninggalkan Manado tanpa sempat bertemu denganmu. Semoga suatu hari nanti aku
bisa kembali ke sini dan kita bisa bertemu. Walau aku nggak tau ntah kapan.
Aku membaca SMS dari Adel dengan
perasaan yang aku tak tau seperti apa. Lega? atau mungkin merasa bersalah? Tapi
yang aku tau pasti, Adel kecewa.
@yoza_ Jauh-jauh aku ke kotamu
kenapa kita tak bertemu...???
Baiklah, kali ini aku merasa
bersalah. Setelah seminggu berlalu, ternyata dia masih memikirkan hal yang
sama. Sementara aku? Ntahlah...aku tak tau harus berkata apa dan bersikap
bagaimana. Jangan tanya, aku juga tak tau kenapa aku tak menemuinya.
“Mas, ada paket nih.”
Aku mengernyitkan dahi, lalu serta
merta menerima paket yang disodorkan oleh Risky, seorang siswa SMK yang lagi
magang di kantorku.
“Makasih ya.”
Risky mengangguk lalu pamit meninggalkan
kubikel ku.
Aku membolak-balik paket di
tanganku, tapi tak ku temukan nama pengirimnya. Akhirnya aku putuskan untuk
langsung membuka paket itu. Sebuah buku.
Iya, paket itu berisi sebuah buku,
buku kecil dengan judul DUNIA KATA karya M. Fauzil Adhim. Buku yang dulu pernah
aku kirimkan kepada Adel. Buku yang hanya aku pinjamkan bukan aku berikan.
Adel...
Hai kamu, apa kabarmu hari ini?
Lama tak berjumpa sepertinya membuat
kita saling melupa?
Masih ingat buku ini? kau pernah
mengirimkannya padaku beberapa tahun yang lalu. Dulu kau bilang, kau
meminjamkan buku ini untukku agar aku lebih bersemangat menulis dan bisa segera
menerbitkan sebuah buku. Kau juga bilang, aku harus menyimpan dan menjaga buku
ini dengan baik. Someday, bila kita bertemu nanti aku bisa mengembalikannya
padamu. Dan, kau tau? Kalimat itu menumbuhkan harapan bagiku, menambah
keyakinan kalau kita akan bertemu suatu hari nanti. Walau tak ada yang tau
kapan itu akan terjadi.
Sekarang buku ini aku kembalikan,
walau kita belum dipertemukan oleh Tuhan. Aku hanya merasa tak berhak lagi
menyimpannya. Apalagi saat ini aku sudah sangat jarang menulis. Sepertinya aku
memang tak berbakat menjadi penulis ya?
Well, seperti yang pernah aku
bilang. Segala sesuatu bisa terjadi dengan izin Tuhan, di dunia ini tak ada
yang tak mungkin. Jadi bila kali ini kita belum dipertemukan, mungkin lain
kali. Iya kan? Ini hanya soal waktu. Dan aku masih akan terus menunggu hingga
waktu itu tiba. Semoga...
Rindu pada mu serupa bayang semu
Rindu pada mu mengundang cemburu
Rindu pada mu tiada lagi mengharu biru
Rindu pada mu tiada menemukan titik temu
Rindu pada mu telah melalui jalan buntu
Rindu pada mu membuatku enggan lagi menunggu
Rindu pada mu tak lagi sungguh-sungguh
Rindu pada mu tak lagi utuh; menyisakan ragu
Dan mungkin...
Rindu ku, bukan lagi kamu
Lelaki bernafas sunyi
Bersimpuh di tepi malam
Menghitung detak waktu yang luruh di mata
Membungkuskan asa di tiap tetesnya
Lelaki bernafas sunyi
Menasbihkan do'a di mekaran embun
Di seujung malam...
21062012, 03:50
Pada lembar malam
Rindu akan MU nampak jelas tertatap
Pada lelangit kalbu
Met Tahajud
21062012, 03:50
Bismillah...
Ya Allah Tuhan kami Yang Maha Pelapang Hidup
Perjelaslah berkah dan kebaikan sholat bagi jiwa-jiwa kami yang sedang ragu
Met Sholat Subuh
22062012, 05:12
Berkaca di cermin sunyi
Kudapati diri ini lebam tanpa terluka
: ada yang paham?
27062012, 15:32
Sesabit rembulan,
Enggan beranjak dari pikiranku...
: wajahmu
(sajak untuk ibu)
28062012, 20:32
Ini jawabku,
Ketika kau tanyakan rindu itu apa
: kamu
30062012, 08:17
Ada nama mu di seruang milik ku, selalu...
Dalam lamunan, sadar dan tidur ku
30062012, 08:33
Kedalaman mata mu, Adrina...
adalah telaga tenang yang tak terukur
Aku bukan sekali menyelam di sana
Menerka-nerka rupa rindu yang sampai pada akhirnya
Aku yang terjebak di kedalamannya, tak mampu kembali...
30062012, 20:50
Jika hidup di dunia hanyalah sementara
bijak kah jika memilih beranjak lebih cepat?
13082012, 11:17
Aku ingin menatap mata mu yang dalam...
Bagaimana aku bisa melakukannya?
13082012, 13:33
Sejak kita saling melupakan, aku paham...
Mencintai diri sendiri ternyata tidak begitu mudah
jika kulakukan seorang diri
24082012, 04:25
Tersangkut aku di kail senyum mu
Maaf...
25082012, 17:03
Rin, ada bayangmu di setiap rintik yang jatuh di hadapan
Menyapa ku yang sendiri bersimpuh di tepi masjid ini
Senyum mu tergambar jelas di sana
Aku hanya bisa menasbihkan doa di setiap tetesnya
Membungkus asa...
Kau tau, aku merindu jejakmu
yang tak dapat ku baca
08112012, 14:22
Benar katamu kawan,
jalan menuju hatinya, itu yang sedang ku lalui...
Banyak yang memberitahu ku,tentang terjal dan berlikunya jalanan itu...
Mungkin mereka lupa sesuatu,
Bahwa jalanan itu hanyalah jalan menuju hatinya
Sedang perjalananku bukanlah sekedar sampai di hatinya,
melainkan menjemputnya menuju taman mimpiku
Sebab disanalah ia semestinya, disanding ku...
Ya, mereka memang lupa tentang jalan itu,
tentang aku yang berjaan melalui jalanNYA.
28112012, 22:45
Ku tutup matahari dengan tangan kiri
Agar bayang mu tertatap jelas dari sini
: di fikiran ku...
30112012, 13:09
Ada selembar yang hilang,
lesap dari ingatan...
Namanya kah?
30112012, 23:04
Maaf...
Hanya itu kata yang akan ku ucap,
Karena aku terlalu mengkhawatirkanmu,Rin...
03122012, 23:44
Ada nama mu,
terselip diperbincangan antara aku denganNYA
di sebelum lelapku
Tidak banyak,
Yang ku minta hanya satu...
Sisa hidupku disanding mu.
05122012, 22:59
Benar katamu SAF...
Cinta itu adalah ruh yang mengalir lembut, menyenangkan, bersinar, jernih dan ceria
Namun dalam kelembutannya SAF...
Ia menyesakkan, berdera, jerih dan badai
06122012, 01:47
Tiba-tiba ingatan akan mu menyala di kepala
Serupa lampu-lampu kota yang serempak menerang
meski ia tak tau siapa yang kelak ia terangi
18122012, 21:03
Satu kenang denganmu yang paling utuh tersimpan
ialah ucapku yang...
"Pada kedalaman matamu, aku temukan cinta sesungguhnya",
Dan itu kekal.
19122012, 15:20
...dan, akan ku biarkan engkau menjadi rindu,
saat diam dan sunyi.
Menemani lelah memeluk gelisah,
yang tak henti berkisah memenuhi ruang ingatan.
Sampai kelak engkau nyata mengetuk, merengkuh kerinduan.
Tanpa pernah meminta aku mengekalkannya.
20122012, 14:34
Senja...
Saat hujan mengisahkan diri,
gerimis menericik,
dingin dan khas mewangi,
mewarna jingga di hujung cakrawala,
seromantis rindu akan mu.
23122012, 15:07
Adrina...
Setadi telah ku titipkan pagi pada wajahmu
Selalulah berbinar, biar mendung tak terundang.
Selalulah tersenyum, agar gelisah tak terlukis.
25122012, 07:55
:: Ramidin ::
"Aku tak peduli, apakah puisi ini tertuju untukku, bukah hanya untukku atau memang bukan untukku. Tapi bagiku puisi ini tetaplah untukku" [rheadrina]
1. Jeans Zara ukuran 34 (setara size 6 atau xs) 2. Jeans abu-abu ga tau
merk apa, ukuran 30 (2xs) 3. Jeans Zara ukuran 34 (setara size 6 atau xs)
4. Jeans ...
NAMA KOTA dan TAQWA @salimafillah Zürich atau Zurich (/ˈzjʊərɪk/, Bahasa
Jerman Standar Swiss: Zürich [ˈtsʏrɪç], Bahasa Jerman Standar Jerman:
Zürich [ˈtsy...