“Dinda?” sebuah suara menyebut namaku.
Aku menghentikan langkahku, menoleh dan mendapati seraut wajah itu
tersenyum padaku. Seseorang yang sebenarnya ku kenal cukup dekat. Teman masa
kecilku.
“Hai,” kataku terdengar kaku.
“Gak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Apa kabar, Din? Udah lama ya
kita gak ketemu.”
“Baik. Kamu?”
“Seperti yang kamu lihat.” Dia menatapku sejenak, “Kamu kurusan
sekarang.”
“Oya? Berat badanku naik.”
“Aku tak percaya.”
“Itu kenyataannya.”
“Oke...” Seperti biasa dia mengalah, dia tak pernah betah berdebat
denganku.
Hening sejenak.
“Sendiri?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Hmmm, kamu...”
“Aku ada urusan kantor.” Jawabku seolah sudah tau apa yang ingin
ditanyakannya.
“Oh...” gumamnya pelan. “Kebetulan aku kerja di sini, ada yang bisa
aku bantu?”
Aku menggeleng cepat. Aku malas berurusan dengan makhluk satu ini.
“Tidak, terima kasih.”
“Baiklah, kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan menemuiku. Kamu
bisa cari aku di sana,” katanya sambil menunjuk sebuah ruangan.
Aku mengangguk. Lalu buru-buru meninggalkannya. *
Namanya Iyas, teman sepermainanku sewaktu kecil. Kami tinggal satu
kompleks, rumah kami hanya berjarak sekitar 300 meter. Setiap hari aku
menghabiskan waktu bersamanya, bermain layang-layang, bersepeda, memancing,
mandi di sungai, atau mendaki bukit kecil yang ada di belakang rumahnya. Kemana
pun dia pergi Iyas selalu mengajakku ikut serta. Iyas selalu menjagaku, tak
pernah sekali pun dia membiarkan orang lain menggangguku apalagi sampai
membuatku menangis. Mungkin hal itu yang membuatku merasa nyaman berada di
dekatnya, walau tak jarang kami bertengkar dan saling mendiamkan satu sama
lain.
Seiring berjalannya waktu kami pun beranjak remaja. Walau berbeda
sekolah dan sibuk dengan kegiatan eskul masing-masing, dia masih sering ke
rumahku. Dia tak perduli aku ada di rumah atau tidak. Dia dekat dengan ortu dan
saudara-saudaraku, baginya rumahku sudah seperti rumahnya sendiri. Kalau pulang
terlalu malam, dia lebih berani mengetuk rumahku daripada harus pulang ke
rumahnya sendiri. Aneh kan? Tapi itulah Iyas, sahabat kecilku.
Suatu hari ketika kami duduk di bangku SMA, sepulang sekolah dia ke
rumahku dan menemukanku sedang asyik bermain basket. Awalnya dia hanya
memperhatikanku, tapi setelah itu dia dengan sukses merecoki permainanku. Aku
mendelik marah tapi dia tak perduli dan hanya tertawa-tawa, senang melihat aku
yang sedang marah.
“Apaan sih, sini balikin bolanya.” Kataku ketus.
“Ambil aja sendiri kalo bisa.”
“Resek!”
“Biarin.”
“Balikin sini bolanya,” pintaku sambil terus berusaha merebut
kembali bola basket dari tangannya.
“Aku suka kamu, Din.”
Aku kaget mendengarnya.
“Kamu...”
“Gak, aku gak mau!” potongku cepat.
Aku melepaskan bola basket yang baru saja ku rebut dari tangannya.
“Kenapa?” Dia tak kalah kaget mendengar jawabanku.
“Gak mau aja.” Jawabku sekenanya.
Aku lalu masuk ke dalam rumah, membiarkan dia yang bengong. Aku
mengintip dari balik jendela kamarku dan melihat Iyas berjalan pulang dengan
gontai. Aku merasa tak enak hati walau tetap tak ingin meralat perkataanku. Sebenarnya
hatiku berdebar cukup keras waktu dia mengatakan hal itu. Bukan, bukan karena
aku juga menyukainya tapi lebih karena aku tak siap mendengarkan pernyataan
cintanya yang begitu tiba-tiba. Aku bahkan kaget karena dengan entengnya menolak
Iyas tanpa memikirkan perasaannya.
“Maaf...” kataku lirih, walau aku tau Iyas tak mendengarkan
permintaan maafku.
Sejak saat itu hubungan kami merenggang. Iyas masih suka ke
rumahku, walau tak sesering biasanya. Dia tak perduli aku bersikap cuek padanya.
Dia masih Iyas yang sama dengan Iyas sebelumnya, hanya saja aku yang selalu
berusaha menghindarinya.
“Dinda?” Suara itu lagi.
Lamunanku buyar seketika. Lagi-lagi aku menoleh dan mendapati
seraut wajah yang sama untuk kedua kalinya dalam hari ini.
“Belum pulang?” tanyanya. “Udah selesai urusannya?”
Aku mengangguk.
Dia melirik jam yang melingkar di tangannya.
“Udah makan?”
Aku menggeleng.
“Laper?” tanyanya lagi. “Makan siang bareng yuk, aku yang traktir.”
Tanpa menunggu persetujuannku dia sudah menarik tanganku. Aku
terpaksa mengikutinya. Baiklah, hanya untuk kali ini saja. Janjiku dalam
hati.
Sesaat kemudian kami sudah duduk berhadapan di sebuah cafe, tak
jauh dari kantornya. Aku hanya diam dan menunduk, sibuk mengotak-atik ponselku.
“Aku kangen kamu.”
Lagi-lagi aku kaget dibuatnya.
Dia tersenyum geli melihat reaksiku.
“Aku kangen kamu, Dinda. Sungguh...” katanya lagi. “Aku senang,
kamu masih seperti Dindaku yang dulu.”
Stop! Aku benci sekali kalo Iyas udah mulai gombal. Ternyata, Iyas
yang ada dihadapanku saat ini juga masih Iyas yang dulu. Aku gak ingat kapan
terakhir kali kami ketemu, kapan dia terakhir kali menelponku, kapan dia
terakhir kali datang ke rumahku. Tapi rasanya sudah lama sekali. Dan anehnya
Iyas tak berubah sama sekali.
“Aku masih menunggu,” begitu katanya kemudian.
Aku masih diam. Ini salah satu alasan kenapa dulu aku
menghindarinya, Iyas pantang menyerah.
“Beri tahu aku siapa lelaki yang sedang dekat denganmu saat ini.”
Aku masih diam. “Dinda, bicaralah...”
“Bukankah kita ke sini untuk makan?” tanyaku, tak mengubris
pertanyaannya sama sekali.
“Baiklah.” Iyas lagi-lagi mengalah.
Iyas memanggil pelayan, kami pun memesan makanan. Lalu menunggu
pesanan kami dengan membisu. Sungguh, aku benci situasi ini.
Iyas... Iyas... dan selalu Iyas. Kenapa hidupku tak pernah tenang
dari sosok bernama Iyas. Setelah peristiwa pengungkapan cinta waktu itu ntah
sudah berapa kali Iyas mencoba ‘menembakku’ dan berkali-kali aku tolak. Aku pikir
akhirnya Iyas menyerah. Dia mulai jarang ke rumahku, hingga akhirnya tak pernah
lagi ku lihat batang hidungnya. Tidak ke rumahku atau sekedar lewat di depan
rumahku. Aku tak pernah bertanya-tanya atau merasa kehilangan dia. Aku memang
nyaman berada di dekatnya sebagai sahabat, seseorang yang begitu melindungiku.
Tapi kenyamananku terusik setelah dia menganggapku lebih dari seorang sahabat.
Aku tak bisa, benar-benar tak bisa bersikap seolah-olah tak mengetahui apa-apa
mengenai perasaannya. Aku tak bisa, tak bisa untuk pura-pura menyukainya dan
memang tak ingin.
Dan hari ini, kenapa aku harus bertemu dengannya? Kenapa dia harus
bilang kalau dia masih menungguku? Kenapa dia kembali mengusik hidupku? Tak
bosankah ia menerima penolakan dariku? Agrrrrrrhhh...! Rasanya aku ingin sekali
teriak.
“Din...”
“Ya?” Spontan aku menyahut, lagi-lagi dia memergokiku sedang
melamun.
“Makan gih, ntar maag kamu kambuh lagi kalo telat makan.”
Hei, kok dia tau kalau aku punya penyakit maag? Seingatku aku gak
pernah bilang sama dia kalau aku punya penyakit maag. Lagi pula aku baru
sekitar setahun ini mengidap penyakit itu, jelas-jelas dalam kurun waktu itu
kami sama sekali tak pernah bertemu.
“Gak usah heran, aku tau semua tentang kamu. Jangan kamu pikir aku
tak tahu apa-apa. Aku selalu memperhatikanmu, Din.”
Well, jadi sejak kapan dia memata-mataiku? Kurang kerjaan!
“Kenapa sih kamu tak pernah suka sama aku?” tanyanya lagi.
Aku masih diam. Mulai melahap makananku perlahan, bersikap
seolah-olah tak mendengar apa yang dikatakannya.
“Aku capek menghadapi sikapmu yang sok cuek dan selalu menghindari
aku. Makanya aku pergi. Aku pikir kamu akan merasa kehilangan tapi ternyata
kamu bersorak riang.” Dia menggerutu. “Aku masih menunggumu, Dinda.”
“Oya?” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Ya.” Katanya tegas. “Apa kamu masih gak percaya?’
Aku berhenti mengunyah, menganggkat wajahku dan menatap matanya.
“Aku mencintaimu dari dulu hingga saat ini, mungkin juga besok,
lusa dan selamanya. Percayalah...” Nada bicaranya mulai putus asa.
“So...?” tanyaku datar.
“Dinda!” Iyas kesal. Aku tak perduli. “Apa yang harus kulakukan,
Din?”
Apa? Pergilah dan jangan kembali.
“Baiklah, tolong kamu kasih satu saja alasan kenapa kamu tak
menyukaiku.” Akhirnya dia menyerah.
Aku berpikir sambil mengunyah perlahan. Bingung harus menjawab apa.
Gak mungkin kan aku bilang kalo aku suka...
“Rafly?” Aku tersentak mendengar nama itu. Kenapa Iyas seperti bisa
membaca pikiranku. “Kamu menyukainya kan?”
“Jangan bawa-bawa nama Rafly,” tiba-tiba aku jadi sewot.
“Ternyata benar dugaanku.”
“Jangan sok tau!”
“Kamu gak usah bohong, Din.”
“Aku...”
“Kalo kamu gak menyukai Rafly, kenapa gelang pemberian darinya
masih kamu pakai?” katanya tajam.
Secara reflek aku langsung menutupi gelang yang melingkari
pergelangan tanganku. Gelang yang terbuat dari batu itu satu-satunya benda
pemberian dari Rafly. Dia memberikan gelang itu sebagai ganti gelangku yang
putus akibat perbuatan Iyas.
“Din...”
“...”
“Seharusnya sudah sejak lama aku menyadari kalo kamu mencintai Rafly,
kakakku. Dan...” Iyas menghela nafas sesaat. “Dan harusnya kamu gak perlu menderita
begitu lama karena memendam perasaanmu pada Rafly.”
Aku tak mengerti arah pembicaraan Iyas, tapi aku membiarkannya
saja. Aku tak ingin bertanya.
“Aku minta maaf karena pernah memaksakan perasaanku padamu.” Iyas
terdengar menyesal.
“...”
“Din, sebenarnya Rafly menyukaimu.”
Aku tersentak mendengar penuturan Iyas.
“Maafkan aku.” Katanya lagi. “Seandainya aku tau kamu juga menyukai
Rafly, sudah sejak lama aku merelakanmu untuknya.”
Aku menggigit bibir bawahku. Rafly menyukaiku? Benar-benar
tak bisa ku percaya, selama ini aku berpikir bahwa cintaku bertepuk sebelah
tangan.
“Gak mungkin,”
“Aku gak bohong.” Iyas meyakinkanku. “Rafly menyukaimu dari dulu. Sejak
kita kecil sebelum pergi bermain denganmu dia selalu mengingatkanku untuk
menjagamu, katanya aku gak boleh ngebiarin kamu nangis karena terluka atau dijahilin
orang lain. Kamu gak tau kan kalo Rafly selalu memarahiku ketika kita
bertengkar, dia bilang sebagai anak laki-laki aku harus mengalah padamu. Kura-kura
yang dulu pernah aku kasih ke kamu itu juga sebenarnya dari dia. Entah
bagaimana tapi dia selalu tau apa yang kamu suka.”
Ada setitik air jatuh ke pipiku.
“Aku mencintaimu, Din. Sungguh... Begitu pula dengan Rafly. Tapi
aku gak tau kalo kamu menyukai Rafly. Bukankah dulu yang selalu dekat dengan
kamu itu aku bukan dia, kemana-mana yang menemanimu itu aku bukan dia, orang
yang selalu kamu cari dan hubungi itu aku bukan dia. Selalu aku bukan dia, tapi
kenapa bukan aku yang kamu suka?”
“Aku gak tau, Yas. Aku gak tau...” Isakku mulai terdengar.
Iyas menggenggam tanganku erat lalu menghapus airmataku.
“Maafkan aku. Sekarang izinkan aku menebus kesalahanku.”
Aku menatapnya penuh tanda tanya.
“Ikut aku.” Tanpa sempat protes, Iyas sudah menarik tanganku. “Aku
akan membawamu ke tempat Rafly.”
“Tak perlu.” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami berdua.
“Rafly???”
Kamar tidurku, 18012013
NB: Cerpen ini sudah lama sekali aku tulis dan memenuhi folder "setengah jadi" di laptop kesayanganku. Akhirnya hari ini bisa aku (paksa) selesaikan, walau endingnya gak seperti rencana awal hehe..
0 komentar:
Posting Komentar