29 Jun 2013

FlashFiction : Believe

Diposting oleh Drina at 08.19 0 komentar
Langkah ku berhenti di suatu tempat. Menatap apa yang ada di hadapanku saat ini dengan hampa. Aku ingat percakapan kita beberapa waktu lalu, saat kau mengantarku pulang setelah seharian menghabiskan waktu bersama di taman ria.

“Besok kau berangkat jam berapa?”

“Sekitar jam dua siang,”

“Kita masih bisa ketemu kan?” tanyaku berharap.

Kau tersenyum. Aku menunduk, pura-pura sibuk dengan gelang yang melingkar di pergelangan tanganku. Ada sesuatu yang menyelinap di hatiku, sebuah rasa kehilangan yang datang sebelum waktunya. Atau mungkin juga sedikit kecewa, karena waktu hanya sekejap mata mempertemukan kita.

“Insya Allah,” katamu memberikan secercah harapan padaku. “Kalau pun besok kita tak sempat bertemu, akan ada lain kali.”

“Yakin akan ada lain kali?”

Kau mengangguk yakin. Tapi aku sangsi.

“Ini bukan pertemuan kita yang terakhir kali kan?”

“Tentu,” katamu mantap. “Ingat, kau masih punya hutang padaku.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Kau punya janji yg belum kau tepati. Itu namanya hutang juga kan?” kau tersenyum menggodaku. “Kita masih akan pergi ke pantai bersama, kau sudah janji mengajakku menyusuri tepi pantai dengan sepeda seperti yang biasa kau lakukan dengan sahabat-sahabatmu.”

“Aku akan menepatinya jika kau datang lagi,” janjiku.

“Ada satu lagi...”

Aku mengernyitkan dahi.

“Pertemukan aku dengan Aquila mu,”

Aku tersenyum, mengangguk sungguh-sungguh, berjanji sepenuh hati untuk memenuhi permintaanmu.

Aku akan merindukanmu, kataku dalam hati.

“Hei, jangan bersedih.”

“Aku...”

“Yakinlah, aku akan kembali ke sini menemuimu lagi.”

“Tapi...”

“Kau hanya harus yakin, Ra.”

“...”

“Karena jika kau yakin, maka segala sesuatunya akan mungkin.”

Aku memberanikan diri menatap matamu.

“Bukankah kau sendiri yang pernah bilang begitu padaku?”

Aku menggangguk.

Sekali lagi kau tersenyum, lalu membelai kepalaku.

“Jangan biarkan ketakutan-ketakutan itu menghantuimu, Ra. Karena itu yang akan mengikis keyakinanmu secara perlahan.”

Dan kau pun pergi, meninggalkanku yang berdiri mematung hingga sosokmu hilang dari pandanganku.

Setitik bening jatuh.

Bukankah kau bilang akan menemuiku lagi? Bukankah kau seharusnya datang menagih janji? Bukankah seharusnya waktu itu bukan pertemuan kita yang terakhir kali? Bukankah... Aku tak lagi bisa menahan isak, suara tangisku seketika memecah keheningan suasana di tempat ini. Apakah keyakinan itu tak berlaku untuk mengubah takdir Tuhan? Atau mungkinkah dari awal aku sebenarnya tak memiliki keyakinan itu?

Bukankah seharusnya...

Jika kau yakin maka segala sesuatunya akan menjadi mungkin?”  Tiba-tiba kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku.

Aku menghapus airmataku perlahan dan memaksakan senyum di bibirku.

“Aku tau mungkin aku tak bisa bisa lagi memenuhi janjiku padamu. Tapi aku percaya suatu saat nanti bila Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi. Mungkin tidak di dunia, tapi siapa tau kita akan bertemu di syurga. Semoga...”

Aku memejamkan mata, berdoa sesaat. Lalu meletakkan bunga di atas pusaran mu, sebelum akhirnya meninggalkan tempat peristirahatan terakhirmu.
  


rheadrina
Kamar, 29Juni13

24 Jun 2013

Terlalu Ceroboh

Diposting oleh Drina at 05.49 4 komentar
Aku tergesa menuruni tangga dan tiba-tiba kakiku terpeleset. Untungnya tanganku bisa meraih pegangan sehingga tubuhku tak sampai menggelinding hingga ke anak tangga yang paling bawah. Hanya saja tak bisa aku pungkiri kalau seluruh persendianku terasa sakit luar biasa.

"Bang, Na tadi jatuh..."

Aku menghentikan jemariku yang bermain di atas keypad hp. Ingatan itu melintas di benakku.

***

"Lagi dimana, Na?"

Aku menjawab ragu, "Di rumah sakit."

"Rumah sakit?" Nada suaramu terdengar khawatir. "Kamu sakit? Kenapa nggak bilang?"

"Jatuh dari motor."

"Kok bisa?"

"Jalannya licin, Bang."

"Makanya lain kali kalo bawa motor itu nggak usah sok-sok jadi pembalap."

"Tapi Na nggak ngebut kok." Aku bersungut demi mendengar omelanmu.

"Kalo nggak ngebut nggak mungkin sampe jatuh gitu."

"Udah dibilang kalo jalannya licin juga."

"Iya, tapi kalo kamu hati-hati dan nggak ngebut pasti nggak bakal jatuh. Dasar ceroboh."

"Terserah Abang deh."

Aku mennggakhiri pembicaraan. Kesal.

***

"Upz!"

"Kenapa?"

"Bang, nanti telponnya dilanjutin ya."

"Loh, memangnya kenapa? Kelasnya udah mo mulai?"

"Belum, Na mo pulang ke kost sebentar." Kataku sambil berjalan menuju parkiran.

"Bukannya tadi kamu bilang baru nyampe kampus ya Na." Nada bicaramu sedikit heran.

"Iya, tapi..."

"Ada yang ketinggalan?"

"Nggak sih, tapi..." Aku sedikit ragu.

Kamu diam menanti jawabanku.

"Na lupa matiin setrikaan, Bang."

"Aduh... kamu ceroboh banget sih Na."

"Ngomelnya nanti aja bisa?" Sindirku.

Disindir begitu kamu malah bersiap-siap akan memperpanjang omelanmu.

Aku bersungut.

"Jangan diulangi lagi." Katamu akhirnya sebelum menutup telpon.

***

"Kamu jadi berangkat hari ini?"

"Iya."

"Pesawat jam berapa?"

"Jam 5 sore."

"Jam berapa mau ke bandara?"

"Sebentar lagi, Bang." Kataku sambil mencari-cari sesuatu.

"Nunggu apa lagi, ntar telat loh."

"Iya, sebentar lagi." Aku bersungut seperti biasa."

"Kamu lagi ngapain sih?"

Aku memindahkan ponselku ke tangan kanan. Menghela napas sesaat dan bersiap menerima omelannya.

"Nyari tiket pesawat."

"Apa?"

Aku menghela nafas sekali lagi.

"Jangan ngomel dulu ya bang, Na lagi pusing nih. Kalo tiketnya nggak ketemu juga, bisa-bisa Na batal berangkat."

"Dasar ceroboh." Seperti biasa kalimat itu yang keluar dari mulutmu.

***

"Aaawww!"

"Kenapa lagi?"

"Jari Na luka bang waktu ngiris bawang." Aku mengadu.

"Berdarah?"

"Ya iyalah." Aku jadi sewot mendengar pertanyaanmu yang nggak penting itu.

Kamu tertawa kecil.

"Udah dikasih obat?"

"Ini lagi dikasih obat. Periiiih hikz...."

"Kamu tuh emang ceroboh. Masa ngiris bawang aja sampe luka gitu. Makanya lain kali jangan sambil ngelamun."

Aku merengut kesal. Selalu dan selalu begitu. Bukannya kasihan malah ngomel dan menyalahkan.

***

"Bang... Na jatuh di tangga."

Aku membaca lagi SMS yang baru ku ketik. kembali ragu untuk mengirimkannya.

Dulu, aku begitu kesal dengan omelanmu. Selalu protes ketika kamu mengatakan aku ceroboh, walau pada kenyataannya memang begitu. Tapi aku tau, sebenarnya itu salah satu bentuk perhatian kamu padaku. Jadi apa pun yang terjadi aku selalu memberi tahu mu, termasuk hal yang menyangkut kecerobohanku itu.

Tapi itu dulu, sebelum masalah datang dan mengubah keadaan. Aku bahkan lupa sejak kapan perhatian itu berubah menjadi ketidakpedulian. Dan aku yang dulu terbiasa mengadukan segala sesuatu padamu sekarang lebih memilih menyimpan semuanya sendiri.

Aku mendelete SMS yang sebelumnya sudah ku ketik, mengurungkan niat untuk mengirimkannya padamu. Tidak ada gunanya.

Kamu benar, aku memang gadis yang ceroboh. Aku selalu ceroboh melakukan segala hal. Aku juga ceroboh karena mempercayakan kebahagian dan menitipkan impianku padamu. Bahkan aku terlalu ceroboh telah meletakkan hatiku padamu.


rheadrina
KamarKost, 24062013


11 Jun 2013

Sekerat Rasa Yang Tersisa

Diposting oleh Drina at 00.59 0 komentar

Pernahkan sesaat saja kau mengingat, bahwa kita telah sekain lama menyia-nyiakan waktu yang kita punya dan berpura-pura semua tetap sama. Tidakkah kau merindukan setiap potongan cerita yang senantiasa tersuguhkan untuk kita nikmati bersama? Bukankah walau dalam kelelahan dan kepenatan yang mendera, ia tetap mampu menghadirkan seulas senyum di wajah, menjelmakan kita menjadi manusia yang tak pernah menyerah. Tidak kemarin, tidak hari ini ataupun nanti.

5 Jun 2013

(Masih) Menunggu

Diposting oleh Drina at 08.18 0 komentar


Dia masih menunggu. Tentu saja dia masih menunggu, walau dalam keterdiaman yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Tapi jelas aku tau kalau dia masih menunggu. Menunggu dalam ketidakpastian yang begitu menyakitkan. Sungguh aku iba melihat sosok itu bergelut dalam penantian yang tak berujung. Entah sampai kapan.
 

Peoplecuek's Blog Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | Best Kindle Device