21 Okt 2011

Fragmen: Suatu Hari Di Sebuah Sudut Cafe

Diposting oleh Drina at 19.50

Doaku: “Tuhan, aku berharap bisa bertemu lagi dengannya walau hanya sekali dan untuk terakhir kalinya.”

Doaku terkabul. Setelah setengah tahun tak bertemu, akhirnya hari itu dia menghubungiku dan meminta untuk bertemu.
Kami duduk berhadapan di sebuah sudut cafe, hanya berdua. Membiarkan sang waktu merambat perlahan meninggalkan detik menuju menit, tetap dalam diam dan pikiran masing-masing. Aku tak mengerti kenapa akhirnya memutuskan untuk datang dan menemuinya. Sedikit terbesit sebuah penyesalan dalam hatiku. Rasanya aku ingin pergi dari tempat ini dan  meninggalkannya seorang diri.
“Melamun?”
Aku tersentak.
“Kau tak berubah sedikit pun, Re.”
Aku menatapnya dalam.
“Apa yang kau lamunkan?” tanyanya lagi.
“Kau...” Aku kaget mendengar suaraku sendiri, yang walau hanya sepintas lalu tapi terdengar cukup jelas. Tanpa sadar kedua tanganku ikut tergerak menutup mulutku, seolah-olah tak ingin ada lagi kata yang keluar.
“Aku?”
Aku tak bersuara.
“So... beritahu aku apa yang kau pikirkan tentangku?”
“Sudahlah, tak penting!” ketusku.
Lelaki itu membuang pandang ke arah jalan, wajahnya terlihat tanpa ekspresi. Aku jadi menerka-nerka apa yang sebenarnya ia pikirkan. Sejak lama, sewaktu pertama kali aku mengenalnya, hingga kebersamaan itu berakhir dengan begitu saja, aku merasa tak pernah benar-benar mengenalnya. Sosoknya begitu misterius, sikapnya selalu membuatku tersesat dalam tanda tanya-tanda tanya yang tak pernah menemukan jawaban.
“Re...” Dia kembali memandangku.
Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan. Mendadak aku merasa gelisah. Aku jadi tak sabar menanti kata-kata yang akan diucapkannya.
“Aku tak pernah menyesal mengenalmu, Re. Tapi...” kalimat itu menggantung.
Seperti ada sesuatu yang menghimpit dadaku, membuat aku merasakan sesak dan kesulitan bernafas. Sudah cukup bagiku untuk memahami kata “tapi” yang diucapkannya. Hanya saja aku tetap menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. Tapi apa? katakanlah.
“Tapi...???”
“Kau terlalu baik untukku.”
Aku menggeleng, “Aku tau bukan itu alasannya.”
“Percayalah.”
“Mungkin sebaliknya, kau merasa aku tak terlalu baik untukmu.”
“Re, tolong jangan sinis begitu.”
Kali ini aku yang membuang pandangan ke arah jalan, sibuk menahan gejolak hatiku yang tak menentu. Ah kenapa hari ini aku menemuinya?
“Aku sedih harus melepaskanmu, Re.” Lelaki itu berkata lirih.
Tunggu dulu, apa katanya tadi? Melepaskan? Aku benar-benar tak mempercayai pendengaranku, bagaimana mungkin dia mengatakan hal itu. Melepaskan sesuatu yang bahkan belum pernah terikat, apa bisa begitu?
“Mungkin akan lebih baik jika aku melepaskanmu, agar kau tak lagi berharap dan bisa membuka hatimu untuk orang lain.” Katanya seakan-akan dia tau bagaimana perasaanku padanya.
“Ryan...”
“Maafkan aku, Re...”
Aku menarik nafas untuk kesekian kalinya. Entahlah, aku tak tau harus berkata apa.
“Sejujurnya, kau pernah ada di hatiku. Kau begitu berharga, karena itu aku tak ingin menyakitimu.”
Pernah ada? Pernah, berarti sekarang tidak lagi .  Hal itu tak penting lagi dia katakan padaku, bila saat ini aku tak ada lagi di hatinya. Berharga? Seberapa penting aku bagimu, Yan? Mungkin “penting” tapi sepertinya tak cukup berarti. Tak ingin menyakitiku? Dan dengan mengatakan hal ini semua kau telah sukses menyakitiku.
“Re...” panggilnya pelan.
“Kenapa?”
“Kau melamun lagi?”
Aku memaksakan sebuah senyum.
“Sudahlah, Yan. Lupakan apa pun yang pernah terjadi selama ini. Toh kita tak pernah terikat oleh sebuah hubungan. Kita hanya berteman, just friends.”
Sungguh aku sangat membenci diriku yang selalu bersikap sok bijaksana seperti saat ini. Dan kebencian itu semakin besar begitu menyadari bahwa apa yang ku katakan adalah benar adanya, “kami hanya berteman”. Sesuatu yang seharusnya ku sadari sedari awal sehingga aku tak perlu berharap apa pun dari kebaikan dan sikap manisnya selama ini padaku.
“Kau tak marah?” Ryan memastikan.
Baiklah aku tanyakan pada hatiku dulu. Marah? Apakah aku berhak untuk marah? Ya, mungkin aku berhak untuk marah. Tapi benarkah aku marah? Dan aku tau jawabannya adalah tidak.
“Tentu saja tidak.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk mantap. Kulihat sebuah senyum terukir sempurna diwajahnya. #
Setelah hari itu aku benar-benar tak pernah lagi bertemu atau berhubungan dengannya. Seperti yang dikatakannya, Ryan benar-benar melepaskanku. Dia pergi dari kehidupanku, menghilang. Kalian mau tau bagaimana perasaanku setelah hari itu? Lega! Benar kata pepatah, “Seberapa besar pun dia menyakitimu, cinta yang kau punya akan mampu membuatmu memaafkannya”.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Peoplecuek's Blog Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | Best Kindle Device